Pil pahit kembali ditelan timnas Indonesia setelah tersingkir di fase grup Piala AFF 2007. Bukannya makin maju, prestasi tim “Merah Putih” justru bergerak mundur.
Puasa gelar Indonesia yang sudah dimulai sejak 1991 silam saat meraih medali emas Sea Games Manila ternyata belum berakhir tahun ini. Kisah sedih yang sudah sering kita dengan seputar kegagalan menorehkan prestasi, kembali mengiringi tim Indonesia saat berlaga di Piala AFF 2007.
Dipasangi target “seadanya” untuk sekedar bisa masuk final, Eka Ramdani cs masih saja gagal mewujudkannya. Jangankan masuk final — untuk mengulang tiga penyelanggaraan sebelumnya — di edisi ke enam Piala AFF tahun ini (dulu Piala Tiger), langkah Indonesia sudah harus terhenti di babak pertama.
Sepanjang sejarah penyelenggaraan event sepakbola antara negara-negara Asia Tenggara yang sudah dimulai sejak 1996 itu, inilah pencapaian terburuk Indonesia. Setelah hanya mencapai semifinal di dua penyelenggaraan pertama (1996 dan 1998), Indonesia selalu menjadi finalis di tiga edisi terakhir (2000, 2002 dan 2004).
Tak ayal hasil ini menghadirkan kekecewaan mendalam di hati pencinta sepakbola tanah air. Apalagi yang membedakan Indonesia dengan Singapura dan Vietnam untuk lolos ke babak selanjutnya hanyalah selisih gol.
Namun justru dari selisih gol itulah bisa kita dapat gambaran jelas langkah mundur prestasi sepakbola Indonesia. Bayangkan, menghadapi Laos saja pasukan Peter Withe sempat dibuat ketar-ketir setelah tertinggal 0-1 di babak pertama.
Tim yang biasanya menjadi lumbung gol Indonesia itu malah mampu memimpin sepanjang 45 menit sebelum dua gol Atep dan satu aksi individu Saktiawan Sinaga mengembalikan martabat Indonesia ke tempat yang semestinya.
Kemenangan 3-1 tersebut akhirnya justru menjadi salah satu faktor kegagalan Indonesia melangkah ke semifinal. Soalnya setelah mejalani pertandingan terakhir, tiga negara punya nilai sama lima. Yang membedakan adalah Vietnam dan Singapura mampu berpesta gol dengan menjaringkan sembilan dan 11 gol ke jala Laos.
Kegagalan ini makin menyempurnakan rangkaian hasil buruk pasukan Merah Putih di berbagai ajang internasional dalam setahun ke belakang. Di Merdeka Cup, Indonesia secara mengejutkan tumbang di final oleh Myanmar. Hasil lebih mengecewakan terjadi di BV Cup saat Ponaryo Astaman dkk dipecundangi tim junior Vietnam, Kamerun dan Finlandia.
Kalau begini keadaannya Indonesia harus bersiap menerima hasil memalukan di Piala Asia pertengahan tahun ini. Saat menghadapi tim-tim selevel saja kita pontang-panting, bisa dibayangkan bagaimana kondisinya saat harus menghadapi raksasa Asia yang sudah jadi langganan Piala Dunia macam Korea Selatan, Jepang dan Arab Saudi.
Wacana mengganti Withe memang makin mengemuka usai kegagalan tersebut. Apalagi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid juga sudah mewanti-wanti dengan ancaman pecat jika gagal mencapai target yang diusung di Piala AFF.
Mengganti Withe bisa jadi merupakan salah satu solusi. Tapi harus diingat juga kalau sebuah event besar bernama Piala Asia sudah menunggu di depan mata.
Dengan waktu yang tak sampai enam bulan siapapun pengganti Withe nanti harus menanggung beban lebih berat karena sempitnya persiapan. Belum lagi butuh waktu untuk beradaptasi dengan skema dan strategi yang sangat mungkin berbeda.
Evaluasi terhadap kinerja Withe memang wajib dilakukan. Tapi itu semata untuk mengoreksi kekurangan timnas demi meraih hasil yang tak terlalu mengecewakan di Piala Asia.
Hanya kegagalan demi kegagalan memang yang baru bisa diberikan Withe. Tapi dengan mepetnya waktu menjelang Piala Asia, apakah pemecatannya akan membuat memberi perubahan signifikan ke arah yang lebih baik buat tim Indonesia?
Salah-salah, gerak pasukan Merah Putih bukan makin ke depan, tapi justru mundur. (din/lom)